“Kak — Isagi, ya..?”
Perempuan itu ragu-ragu. Langkah kakinya yang terbalut sepatu converse hitam itu baru saja melewati pagar hitam berkarat yang didorong ke samping. Bangunan dua tingkat berwarna hijau green screen — warna yang entah kenapa sangat disukai oleh para ibu-ibu — dibelakangnya adalah kos-kosan tempat dia tinggal selama lima bulan terakhir ini. Kalau dihitung ada berapa banyak suka dukanya tinggal sendiri, dia akan lebih memilih untuk menghitung duka selama dia mandiri menjadi anak rantau. Tidak ada yang spesial setelah menempuh perkuliahan satu semester sebagai mahasiswa psikologi.
“Hai. Lanna ‘kan ya?”
Ah, entah kenapa ada yang terus ribut di dalam dadanya. Perempuan itu hanya menggaruk kepalanya kikuk sembari memaksakan senyumnya yang tampak gugup. Sementara dia melihat laki-laki dengan tinggi rata-rata 170 sentimeter yang mengenakan kaos berlapis kemeja, celana jeans longgar dan tengah menggendong sebuah tas ransel coklat di bahu kirinya.
Jadi ini yang namanya Isagi?
Tidak ada kesan buruk di awal pertemuan mereka. Memang benar, dia cuma bisa berpendapat bahwa aura Isagi yang dia lihat benar-benar positif, belum lagi dia sepertinya adalah orang yang ramah. Tersenyum begitu ringan, seolah memang sudah jadi kebiasaannya.
“Sekarang aja yuk. Biar cepat selesai juga tugasnya.” Isagi berujar sembari berikan helm pada perempuan yang masih termanggu di hadapannya.
Dia menerima dengan kikuk. Sementara Isagi sudah menaiki motor scooter berwarna biru pucat miliknya. Dengan ragu-ragu, Lanna naik ke bangku penumpang.
“Pegangan ya,” ujarnya dengan suara terendam. Sebab dalam hitungan detik, angin sudah berhembus dan scooter telah membelah jalanan ramai dan padat.
Perempuan itu sejujurnya kelimpungan. Disuruh berpegangan pun tidak tahu harus dimana berpegang. Pada akhirnya, Lanna hanya menggenggam erat tas ransel Isagi yang menjadi sekat antara mereka berdua. Walau begitu, rasanya dia gelisah sekali, risau seolah ada yang dikhawatirkan. Jalanan yang ramai, matahari yang mulai terik dan menyengat, bahkan pedagang yang berkeliling saat lampu merah tak dihiraukan saat mendadak pikirannya kosong begitu saja.
Saat sadar, tahu-tahu scooter Isagi sudah memasuki perkarangan perpustakan daerah yang ingin mereka kunjungi.
Udah gila kayaknya gue. Perempuan itu mengutuk saat Isagi berhenti untuk memarkirkan scooternya.
“Lo mau cari referensi apa?” Isagi memulai percakapan, tidak lupa senyuman ramah itu selalu ada di sana. Tangannya itu menyugar rambutnya yang berantakan saat dia melepaskan helmnya.
Ganteng ya.
“Eh? Oh, gue mau cari referensi buat dikutip di laporan sih kak.” Lanna menjawab sembari menyerahkan helmnya pada Isagi.
“Laporan? Praktikum?” Laki-laki itu bertanya. Kakinya beriringan menyamakan langkah perempuan yang ada disebelahnya saat mereka melewati pintu kaca otomatis yang dijaga oleh seorang satpam.
Isagi tersenyum di sana, menyapa melalui kontak mata.
“Bukan sih.” Lanna menggelengkan kepalanya. “Laporan turun lapangan. Buat tugas uas.” Dia menambahkan.
Isagi manggut-manggut. “Udah tau mau cari apa? Deadlinenya kapan?” tanyanya.
“Um, belum sih. Tapi Chi — Kak Chigiri udah kasih beberapa referensi, nah tinggal nambahin beberapa aja lagi supaya laporannya selesai. Deadlinenya jam 12 malam ini.” Perempuan itu menjawab. Lantas mau tidak mau, Isagi melotot agak kaget.
“Serius? Mepet banget.” Katanya masih dengan wajah agak terkejut.
Walaupun dia masih mengerti, mahasiswa baru yang menjalani semester 1 masihlah dalam proses transisi. Beberapa mungkin masih belum bisa meninggalkan kebiasaan SKS — alias sistem kebut semalam. Tak bisa dipungkiri juga, Isagi juga kadang masih melakukan hal serupa sih. Walaupun dia sudah meminimalisir karena ada banyak tugas dan kegiatan yang bertabrakan di setiap minggunya.
“Ya.., sebenernya gara gara teledor juga sih kak,” Lanna tersenyum canggung. “Gue lupa buka hp gara-gara hectic nugas, jadi ga tau kalo deadlinenya dimajuin sama dosen.” ujarnya jujur.
“Gue ke rak sebelah sana deh, kak. Lo mau kemana?” tanyanya lagi, mengalihkan topik.
Isagi melihat sekeliling ruangan. Tempat itu sepi, dan ada banyak rak-rak buku di lantai satu dan lantai dua. Ada beberapa orang yang sedang sibuk di beberapa rak, dan sisanya duduk di ruang baca dengan laptop terbuka dan earphone tersumpal.
“Gue mau ke rak sana aja. Nanti ketemu di ruang baca aja kalo lo udah dapat bukunya. Gapapa kan?” tanyanya memastikan.
Lanna mengangguk. Dia sih tidak masalah dengan keputusan apapun. Toh, rasanya pasti bakalan lebih canggung kalo bersama-sama tanpa bicara terus. Akhirnya, mereka berpisah. Lanna naik ke lantai dua, sementara Isagi berjalanan berlawanan arah untuk menuju ke rak di ujung ruangan. Entah apa yang dia cari, kalo tidak salah lihat, rak itu adalah rak berisi buku-buku referensi bangunan.
Anak sipil ya? Batinnya.
Mengabaikan pikirannya, Lanna membuka ponselnya. Dia ingat Chigiri semalam memberikan beberapa rekomendasi buku yang bisa dia temukan di perpustakan daerah. Jadi, perempuan itu membuka catatannya ponselnya, membacanya sembari menyusuri rak-rak tinggi.
“Oh, ada.” Gumamnya.
Saat matanya tertuju pada sebuah buku di rak teratas, senangnya bukan main. Jadi, dia celingukan. Biasanya sih, ada tangga pendek atau kursi pendek supaya dia bisa naik untuk mengambil buku di rak teratas. Jadi, dia berkeliling sebentar untuk mencari, tapi sayangnya nihil.
“Apes banget gue.” Lanna mengutuk.
“Kenapa?”
“EH AYAM!”
Lanna berjengit kaget, refleks melompat mundur saat tiba-tiba ada suara dibelakangnya. Saat matanya sudah mengumpulkan informasi dan mengirimnya ke otak, dia baru saja sadar pada sosok laki-laki berambut hitam pirang dengan style peek a boo.
“BACHIRA!”
“SSSTTT. Ribut banget lo, ini perpustakan.” Laki-laki yang disebut Bachira itu langsung membekap mulut Lanna.
“Bau banget anjing. Lo abis ngaduk terasi ya?!” Lanna menyergah. Mundur setelah menurunkan intonasi suaranya.
Pertemuan dengan Bachira Meguru memang luar biasa. Mana tau orang seperti Bachira Meguru bakalan nyasar ke tempat seperti perpustakan daerah?
“Bacot. Ngapain lo di sini?” tanyanya setelah memutar mata.
“Harusnya gue nggak sih yang nanya begini?” Lanna terheran. Tapi, dia tetap menjawab walau harus menarik napas dahulu. “Nih, gue nyari referensi buat laporan tugas uas. Lo sendiri ngapain, ha?” tanyanya sedikit judes.
Lantas Bachira menjawil bibir Lanna, menjepitnya hingga mulut perempuan itu terlihat seperti mulut ikan. “Sopan dikit ya maemunah. Gini-gini gue kating lo.” Katanya sangsi. “Gue barusan nganter barang temen gue.”
Lanna menyentak tangan Bachira dengan agak kesal. “Pantes. Orang kayak lo mah hidupnya suka-suka.” Katanya nyinyir.
“Diem.”
“Bachira?”
Sontak, keduanya kompak menoleh.
Waduh, ganteng banget dah tu orang. Gatau kenapa, Lanna malah salfok sama mukanya Isagi yang tiba-tiba makin cakep aja dilihat-lihat.
“Lah Isagi.” Bachira lantas berjalan mendekati laki-laki itu. Mereka berkompak ala-ala cowok seperti biasa. Mendadak kehadiran Lanna seperti angin, transparan dan tidak terlihat.
“Lo ngapain di sini?” Isagi bertanya, dia memasukkan tangannya ke kantong sakunya, semakin terlihat keren.
“Nganter barang temen. Lo pasti lagi nyari bahan kan?” Tebaknya saat melirik Isagi menenteng buku di tangannya yang lain.
Isagi mengangguk. Lalu, dia melirik Lanna yang berdiri seperti patung di belakang Bachira. “Gue sama cewek yang di belakang lo, tuh.”
“Hah?” Bachira lantas cengo. Ketika dia menoleh ke belakang, dia memandang Lanna aneh. Mata yang seolah memberi sinar scan dari atas sampai ke bawah. Kok lo bisa sama ni makhluk? Tapi, Lanna sudah tersenyum masam membalas tatapan Bachira.
Sabar, sabar. Gak boleh ngamuk, harus kalem. Batinnya dongkol betulan.
“Dia adek tingkatnya Chigiri. Doi minta tolong ke gue, katanya Lanna gaada temen ke perpustakan daerah. Pas banget gue juga pengen ke sini, jadi sekalian aja.” Isagi menjelaskan dengan lengkap.
Tapi tetap saja tidak menjawab kebingungan Bachira yang wajahnya sudah tidak terkontrol lagi ekspresi tololnya — kalau menurut Lanna. Kenapa laki-laki itu terlihat seperti mengatakan bahwa makhluk gajelas kayak Lanna bisa sama Isagi ya? Lanna jadi sedikit tersinggung.
“Wah, gak nyangka sih gue.” Bachira masih belum lepas dari keterkejutannya. Lantas dia merangkul Isagi jahil, berbisik dengan suara nyaring yang jelas masih terdengar oleh Lanna. “Hati-hati lo, ni cewek kek maung aslinya.” Katanya sambil terkikik geli.
Isagi bingung, tapi Bachira sudah tertawa dan kemudian melepaskan rangkulannya. “Dah ya, gue mau balik. Gi, kelar uas jangan lupa ngumpul! Take your time,” Katanya mengedipkan mata pada Lanna.
Perempuan itu sudah naik pitam, tapi masih menahan-nahan agar dia tidak langsung menonjok muka jelek Bachira Meguru. Ya, kalo gaada Isagi dia mungkin sudah ngajak baku hantam Bachira di tempat.
“Oke.., mau ke ruang baca?” Tawar Isagi. Keheningan yang mendadak di antara mereka berdua setelah sepeninggalnya Bachira jadi buat canggung.
“Oh, duluan aja kak, gapapa.” Lanna memaksakan senyumnya. Canggung banget, dia gatau mau ngapain.
“Gapapa gue tungguin, gue udah dapat bahan kok. Kita bareng aja.” Isagi berujar sembari mengangkat satu buku di tangan kanannya.
“Eh, gapapa kok, kak.” Tolaknya lagi. Mendadak, Lanna gatau mau ngomong apa lagi.
Tiba-tiba saja sunyi di antara mereka. Isagi menghela napas. Lalu dengan begitu saja melewati Lanna. Ketika perempuan itu menoleh, dia memperhatikan punggung Isagi yang membelakanginya. Tangan laki-laki itu terangkat lurus, mencapai rak tertinggi. Sebelum menggapai buku-buku di sana, laki-laki itu menoleh lagi pada Lanna.
“Yang mana?”
“Eh?” Lanna bingung. “Oh, yang itu kak.” Perempuan itu lantas menunjuk buku di sudut rak.
Isagi meraihnya dalam sekali ambil. Dia menatap covernya, kemudian menyerahkannya pada Lanna. Perempuan itu mengambilnya dengan ragu-ragu. Sedikit merasa heran. Sepertinya, Isagi adalah orang yang tak mudah ditebak. Dia selalu melampaui ekspetasi Lanna tentang dirinya sendiri. Memangnya laki-laki itu selalu seperti itu ya?
Seumur hidup Lanna, laki-laki yang berada di sekelilingnya hanyalah orang-orang cuek seperti Chigiri atau orang bodoh yang suka seenaknya seperti Bachira. Dia juga susah bergaul jadi pertemanannya hanya berputar pada Chigiri ataupun Bachira. Teman seumurannya hanya satu, dan itupun mereka berpisah karena menempuh pendidikan di universitas berbeda.
Jadi, bertemu orang seperti Isagi, Lanna agak takjub. Dan sedikit resah. Sejujurnya, dari tadi dia gugup. Benar-benar tidak bisa fokus. Kehadiran Bachira sesaat juga sebenarnya mencairkan suasana dan mengurangi rasa gugupnya. Hanya saja, Lanna merasa ada yang menggebu-gebu saat Bachira menjahilinya.
Biasanya dia memang akan marah, kesal ataupun jengkel. Tidak peduli ada orang baru atau bukan. Tapi kali ini, entah kenapa dia secara alami menahan rasa jengkelnya, menahan diri untuk tidak terlihat menyebalkan. Berusaha membangun image yang bagus. Apa karena ada orang seperti Isagi Yoichi ya?
Haha, mana mungkin. Udah gila sih gue. Lanna menggelengkan kepalanya.
“Makasih kak.” Ujarnya pelan.
Jemari itu meraih buku, ingin menariknya ke sisi, tapi sayang sekali. Selanjutnya, tangan Isagi bergesekan. Buku jemarinya itu menyentuh ujung kulit Lanna hingga dia tersentak. Lantas, buku yang menjembatani mereka menjadi terjatuh dengan suara gedebuk khas saat mencium karpet biru gelap di bawahnya.
“Oh.., sorry.” Lanna lantas cepat-cepat meraih buku itu.
“Lan — ”
“GUE — ” Lanna berdiri dan langsung berbalik. “Gue mau ke toilet dulu. Duluan aja, nanti gue nyusul, kak.”
Melihat bagaimana punggung itu tampak menukik tegang, Isagi hanya bisa menurunkan tangannya yang ingin menggapai bahu Lanna di udara.
“… oke.”
Begitu saja, Lanna langsung berlari secepat mungkin meninggalkan Isagi yang menatapnya dengan bingung. Kakinya yang kurus menuruni tangga, berjalan setengah berlari sembari tenggelamkan wajahnya dalam-dalam pada buku yang tengah dipeluknya.
“Udah gila.” Lanna melipat bibirnya. Melirik ke arah lain saat dia mendapati wajahnya yang memerah hingga ke telinga.
to be continued —